KADO PAHIT HARI ANAK NASIONAL??

 

Hadi Pramono

Hari Anak Nasional adalah momentum kebanggaan menjaga anak-anak. Hari gembira bagi anak-anak. Namun Duka lara justru menyelimuti pertiwi, anak berusia sebelas tahun di Tasikmalaya kehilangan nyawanya. Ia menjadi korban perundungan atau bullying. Para pelaku memaksa korban untuk menyetubuhi kucing dan direkam lantas videonya disebar. Akibatnya jelas, sangat mengguncang kondisi jiwanya bahkan hingga mengalami depresi.

Korban mengaku sakit tenggorokan kepada orang tuanya. Ia kerap muntah hingga sempat kejang-kejang. Korban sempat dibawa ke rumah sakit. Saat menjalani perawatan di rumah sakit, bocah sebelas tahun itu meninggal dunia. Tanda tanya besar tentu menghampiri orang tua bocah sebelas tahun itu. Hingga pada akhirnya, orang tua mengetahui aksi perundungan yang dialami korban. Hati orang tua mana yang tak hancur menghadapi kenyataan anaknya ternyata korban bullying dan cyberbullying sekaligus. Hari yang sarat kedukaan itu terjadi pada Minggu (17/7/2022), sepekan sebelum perayaan Hari Anak Nasional.

Kasus bocah sebelas tahun ini tentu tidak kita harapkan sebagai kado pahit peringatan Hari Anak Nasional. Ada atau tidak ada kado, sejatinya kasus ini berjalan alamiah. Mungkin kebetulan terjadi pada momen Hari Anak Nasional karena selama dunia ini berputar, kasus akan ada. Paling penting adalah kita hadir ketika ada kasus, hadir dan mendampingi dalam setiap kasus yang menimpa anak. Hari Anak Nasional menjadi titik untuk saling menularkan semangat perlindungan terhadap anak dan bahan refleksi untuk lebih gigih dan inovatif dalam memperjuangkan perlindungan anak.

Laporan Survei Internet Indonesia yang disusun oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) per 2021-2022(Q1), tingkat penetrasi internet pada anak usia 5-12 tahun mencapai 62.43 persen. Selanjutnya pada anak usia 13-18 penetrasi internetnya sebesar 99,16 persen. Sebanyak 90,61 persen anak usia 13-18 tahun tersebut mengakses internet melalui gawai. Penetrasi internet pada anak lebih banyak melalui media sosial. Penggunaan media sosial yang sering digunakan adalah 50,7% facebook. 17,8% instagram dan 15,1% youtube.1

Penggunaan media social secara tidak bertanggung jawab akan menimbulkan sejumlah konsekuensi negatif, salah satunya cyberbullying. Cyberbullying adalah bentuk perilaku kejahatan yang terjadi di dunia maya yang bertujuan untuk merendahkan, mengintimidasi, menghancurkan harga diri, mencemarkan nama baik dengan memberikan komentar-komentar kasar dan sebagainya.2

Laporan APJII juga menyebutkan 49% anak pernah mengalami cyberbullying.1 Beberapa penelitian tentang cyberbullying pada anak di Indonesia juga mencatat angka yang cukup tinggi. Sebuah penelitian yang dilakukan pada pelajar SMP  usia 12-15 di Jakarta Pusat menggambarkan prevalensi cyberbullying sampai sebesar 48,2% di kabupaten semarang tepatnya di Ungaran, diketahui 33% remaja menjadi korban cyberbullying dan 10% menjadi pelaku cyberbullying.3,4

Berbagai penelitian telah menunjukkan anak korban cyberbullying menderita kecemasan, depresi, stres, harga diri rendah, kemarahan, ketidakberdayaan, somatisasi, gangguan tidur, mudah tersinggung dan masalah konsentrasi yang mempengaruhi prestasi akademis mereka.5 Penelitian Martínez-Monteagudo et al., (2020) juga menunjukkan menjadi korban cyberbullying akan meningkatkan kemungkinan pemikiran untuk bunuh diri, meningkatkan kecemasan, menimbulkan depresi dan stres yang tinggi.6

Penelitian Hana & Suwarti (2020) menyebutkan dampak-dampak psikologis pada korban cyberbullying yaitu dampak kognitif, afeksi, dan konatif. Dampak kognitif yang dialami yaitu kehilangan konsentrasi belajar hingga menurunkan indeks prestasi sekolah. Dampak afeksi yang dialami yaitu merasa sedih, marah, malu, dendam dikarenakan mendapat komentar dan pesan dengan kata-kata kasar melalui sosial media seperti “brengsek, bangsat, setan, tuman”, hilangnya kepercayaan, tidak nyaman, dan takut karena menerima pesan melalui media sosial dengan motif pelecehan seksual. Hal ini terus berkaitan dan kemudian menyebabkan dampak konatif yang dialami. Dampak konatif yang dialami yaitu membalas dendam seperti membalas dengan memposting foto pelaku, menegur hingga membalas dengan menggunakan kekerasan fisik seperti memukul, melempar, dan membanting benda-benda, ada yang memilih untuk diam dan memendamnya sendiri, menjauhi dengan memutuskan semua akses untuk berkomunikasi seperti memblokir nomor whatsapp dan keluar dari grup di media sosial, dan melaporkan kepada Orang tua serta guru Bimbingan Konseling.7

Cyberbullying merupakan salah satu sisi gelap dari internet yang melewati batas, oleh sebab itu fenomena ini perlu disikapi oleh semua pihak dengan baik terlebih orang tua dan guru sebagai support sistem anak.  Upaya yang perlu kita perjuangkan adalah melalui penguatan faktor-faktor protektif terjadinya cyberbullying dalam keluarga dan sekolah.

Keluarga merupakan bagian penting untuk adaptasi pribadi, sosial, dan pendidikan bagi anak karena keluarga adalah lingkungan sosialisasi pertama bagi anak dalam mempelajari aturan perilaku untuk hidup bersama.8 Anak yang tidak terlibat dalam cyberbullyinng memiliki kasih sayang dan dimensi komunikasi yang tinggi dari orang tua.9

Dukungan orang tua adalah faktor pelindung dari tindakan cyberbullying, gaya pengasuhan yang otoriter lebih sering terjadi pada orang tua korban dan pelaku cyberbullying.8 Praktik pengasuhan anak meliputi kasih sayang dan komunikasi yang menjadi faktor penting dalam keterlibatan remaja pada cyberbullying.9 Pengembangan program pendidikan keluarga diperlukan untuk mempromosikan perubahan dalam cara mendidik anak-anak, mengurangi stres orang tua yang dihasilkan dari pengasuhan anak, meningkatkan kompetensi orang tua, mengurangi otoriter dan gaya pengasuhan permisif untuk melindungi anak dari cyberbullying.8

Langkah-langkah pencegahan cyberbullying di sekolah perlu menekankan pada pendidikan penggunaan teknologi komunikasi internet yang sehat.10 Sekolah harus memberikan pendidikan untuk meningkatkan keterampilan literasi digital siswa.11 Semakin tinggi literasi media digital maka semakin rendah perilaku cyberbullying.12 Keterampilan literasi digital adalah kemampuan, pengetahuan, kesadaran dan ketrampilan untuk mencari, mempelajari serta memanfaatkan dunia digital/internet.13 Tingginya penggunaan aplikasi media sosial harus diimbangi dengan pemahaman yang baik akan fungsi media sosial itu sendiri. Dengan demikian pengetahuan mengenai literasi media sosial mejadi pengetahuan wajib yang harus dikuasai oleh siswa.12

Sumber :

1.        APJII. Laporan Survei Penetrasi & Profil Pengguna Internet di Indonesia. Jakarta: Polling Indonesia; 2018.

2.        Gunawan F. Religion Society and Social Media. 1st ed. Yogyakarta: Deepublish Publisher; 2018.

3.        Tjongjono B, Gunardi H, Pardede SO, Wiguna T. Perundungan-siber (Cyberbullying) serta Masalah Emosi dan Perilaku pada Pelajar Usia 12-15 Tahun di Jakarta Pusat. Sari Pediatr. 2019;20(6):342.

4.        Wiryada, OAB. Martiarini, N. Budiningsih T. Gambaran Cyberbullying Pada Remaja Pengguna Jejaring Sosial Di Sma Negeri 1 Dan Sma Negeri 2 Ungaran. Intuisi  J Psikol Ilm. 2017;9(1):86–92.

5.        Jenaro C, Flores N, Frías CP. Anxiety and Depression in Cyberbullied College Students: A Retrospective Study. J Interpers Violence. 2021;36(1-2):579–602.

6.        Martínez-Monteagudo MC, Delgado B, Díaz-Herrero Á, García-Fernández JM. Relationship between suicidal thinking, anxiety, depression and stress in university students who are victims of cyberbullying. Psychiatry Res [Internet]. 2020;286(November 2019):112856. Available from: https://doi.org/10.1016/j.psychres.2020.112856

7.        Hana DR, Suwarti S. Dampak Psikologis Peserta Didik yang Menjadi Korban Cyber Bullying. Psisula Pros Berk Psikol. 2020;1(11):20–8.

8.        Garaigordobil M, Machimbarrena JM. Estrés, competencia y prácticas educativas parentales en víctimas y agresores de bullying y cyberbullying. Psicothema. 2017;29(3):335–40.

9.        Gómez-Ortiz O, Romera EM, Ortega-Ruiz R, Del Rey R. Parenting practices as risk or preventive factors for adolescent involvement in cyberbullying: Contribution of children and parent gender. Int J Environ Res Public Health. 2018;15(12).

10.      Athanasiou K, Melegkovits E, Andrie EK, Magoulas C, Tzavara CK, Richardson C, et al. Cross-national aspects of cyberbullying victimization among 14-17-year-old adolescents across seven European countries. BMC Public Health. 2018;18(1).

11.      Chang FC, Chiu CH, Miao NF, Chen PH, Lee CM, Huang TF, et al. Online gaming and risks predict cyberbullying perpetration and victimization in adolescents. Int J Public Health. 2015;60(2):257–66.

12.      Dewi NK, Affifah DR. Analisis perilaku cyberbullying ditinjau dari big five personality dan kemampuan literasi sosial media. Couns J Bimbing dan Konseling. 2019;9(1):79.

13.      Kurniawati J, Baroroh S. Literasi Media Digital Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Bengkulu. J Komun [Internet]. 2016;8(2):51–66. Available from: http://journal.umy.ac.id/index.php/jkm/article/view/2069

 

Komentar